Karya M. Sholeh Sihombing
Langit biru membentang luas diantara pemukiman penduduk Desa kolam yang memanjakan mata, melalui pemandangan persawahan dibeberapa titik lahan pemukiman. Angin sejuk yang berhembus pagi itu, memberikan ketenangan di sela-sela kesibukan masyarakat yang mulai beraktivitas. Ada yang menjemur pakaian, mengantar anaknya pergi sekolah, membersihkan halaman rumah, serta yang memiliki toko kelontong, sudah dipenuhi oleh emak-emak dan nenek-nenek yang sibuk memilih-milih cabai dan bawang sembari bergosip asik. Diantara emak-emak yang sedang berbelaja itu, ada pula emak-emak yang baru sampai dengan menaiki sepeda motor. Berbekal senyuman yang ramah ia menyapa si pemilik toko yang kebetulan tepat di sampingnya, lalu mengucapkan “maye kabeh?” yang berarti “apa kabar?” dengan logat melayu lokal di Desa Kolam. Si pemilik toko yang memang sudah saling mengenal, menggubris sapaan itu dengan mengatakan “kabeh baek” yang berarti kabar baik. Keakraban dan kerukunan yang terjalin diantara masyarakat desa antara satu dan lainnya sudah seperti saudara sendiri.
Di desa yang sama, seorang remaja berumur sembilan belas tahun tampak duduk memeluk kakinya di pinggiran sawah sembari memandang jauh ke depan, dengan raut wajah yang terlihat memikirkan sesuatu. Rambut lurusnya yang mulai lebat, menari-nari oleh tiupan angin yang berhembus dari arah timur. Kulitnya yang berwarna sawo matang juga ikut disinari matahari pagi yang mulai mengintip dengan hangat. Suasana sepi dan hening seperti ini menyelimuti sekelilingnya, memberikan ketenangan untuk berpikir dan mungkin memutuskan sesuatu. Tak lama dari itu, terdengar sebuah suara kecil yang berteriak dari kejauhan. Meskipun suara itu kecil, namun terdengar jelas memanggil nama seseorang, “Bang Irdan!” bunyi suara itu yang mengarah pada seseorang yang sedari tadi melamun di pinggiran sawah. Sang pemilik nama kemudian menoleh ke sumber suara, dan dengan waktu singkat ia langsung menggenali orang yang memanggilnya tadi. Seseorang yang dipanggil Irdan tadi masih menoleh sembari menunggu orang yang memanggil namanya mendekat. Hanya butuh beberapa saat, keduanya kini sudah saling berhadapan memandang satu sama lain.
“Ada apa Leh?” tanya Irdan sedikit mendongak melihat wajah orang yang berdiri di depannya. Orang yang dipanggil “Leh” ini bernama asli Aleh. Ia juga merupakan remaja asli di desa ini. Umur Aleh dan Irdan tidak terpaut jauh, hanya berjarak dua tahun dan keduanya sudah menjadi teman sejak kecil. Irdan sendiri merupakan anak satu-satunya dari kedua orangtuanya yang sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMP. Setelah kematian kedua orangtuanya karena kecelakaan, Irdan kemudian di urus oleh kakek dan neneknya. Sejak SMP, Irdan selalu membantu kakeknya bersawah, yang mana nantinya uang panen itu akan digunakan untuk membantu biaya sekolah Irdan dan kebutuhan rumah. Saat Irdan duduk dibangku SMA, neneknya meninggal dunia, dan satu bulan lalu, kakeknya pun menyusul ke pangkuan ilahi. Kini, rumah yang dulunya tempat Irdan, kedua orangtuanya serta Kakek dan neneknya bercanda gurau, sekarang menyisakan Irdan sendiri yang hidup sebatang kara.
“Kenapa kau melamun di sini bang? Ada orang yang mau jumpain kau itu di depan” beritahu Aleh dengan wajah serius.
“Siapa Leh?
“Aku juga gak kenal bang, kita jumpain aja yok!
Tanpa melanjutkan pembicaraan lagi, Irdan berdiri dari duduknya dan kemudian berjalan agak cepat karena penasaran untuk melihat seseorang yang ingin menjumpai dirinya. Dari jarak yang mulai dekat, Irdan bertanya-tanya tentang siapa dan mau apa orang itu. Penampilannya biasa saja, hanya menggunakan kaos putih dan celana jeans setinggi lutut. Kakinya juga tidak menggunakan sepatu, hanya sendal biasa yang melindungi telapak kakinya. Umurnya sekitar 45 tahun, disamping itu, sebuah mobil berwarna hitam tampak terparkir rapih dibelakang tubuhnya yang agak gemuk.
“Maaf mengganggu, perkenalkan saya Robin, panggil saja saya Pak Robin” ucap bapak berkaos putih itu dengan ramah sembari mengangkat tangganya untuk berjabat. Irdan membalas jabat tangan itu sambil tersenyum canggung. “Saya dari Jakarta, kebetulan lewat sini karena rumah saudara saya juga disekitar sini, saya tertarik dengan tanah sawah ini, saya berkenan untuk membelinya, apakah ini milik kamu? lanjut Pak Robin.
Irdan sedikit kaget setelah mendengar ucapan pak Robin, begitu pula Aleh, dia yang berada tidak jauh dari Irdan merasakan hal yang sama.
“Tanah sawah ini peninggalan keluarga saya Pak, tapi memang sudah menjadi milik saya, hanya saja, lahan tanah milik saya cuma beberapa meter, bukan seluruh tanah sawah yang Bapak lihat.” ucap Irdan sambil jarinya menunjuk hamparan luas tanah persawahan yang juga milik warga di desa ini.
“Saya mengerti, saya hanya akan membeli tanah milik kamu, apa kamu bersedia menjualnya?”
Irdan diam memikirkan jawabannya, ia menimbang-nimbang tawaran itu, entah apa yang membuatnya harus mempertimbangkan tawaran itu. Sementara di belakang, Aleh tampak resah dengan muka seperti menahan sesuatu untuk diucapkan.
“Saya terima tawaran Bapak untuk membeli tanah persawahan saya.” Irdan menjawab dengan mantap. Robin tersenyum lega, sementara Aleh tampak tidak terima dengan apa yang sedang terjadi.
“Kamu mau harga berapa? Saya akan berikan yang kamu mau.”
“Enggak! Tanah ini gak di jual.” Suara Aleh tiba-tiba muncul dengan lantang sambil kakinya berjalan mendekati Irdan. Irdan yang heran menatap Aleh tajam.
“Apa maksud kau ngomong gitu?” Irdan berbisik pelan ditelinga Aleh dengan suara yang ditekan.
“Kenapa abang jual tanah kakek?
Tanpa menjawab, Irdan meremas pergelangan tangan Aleh dan membawanya masuk ke dalam rumah. Di ruang TV, Irdan melepas tangan Aleh dan menatapnya tajam.
“Itu tanah ku, kalau aku mau jual itu urusan ku bukan urusan mu Leh!
“Tapi, kenapa harus abang jual? bukannya selama ini sawah itu sudah menjadi sumber rezeki untuk abang?”
“Aku tau, tapi sekarang masalahnya berbeda Leh!
“Memangnya apa masalahnya!
“Aku mau kuliah Leh! Irdan menjawab dengan nafas yang menggebu. “Kau tau kenapa aku melamun di sawah tadi? Aku mikir, gimana caranya aku bisa bayar uang pendaftaran kuliah ku, Aku sudah berencana untuk daftar kuliah tahun ini Leh, tapi semua uang tabungan ku udah habis untuk perobatan almarhum kakek ku, sekarang harapan ku cuman menjual tanah persawahan ini supaya aku bisa mendaftar kuliah.”
Aleh terdiam memandangi Irdan yang wajahnya memerah setelah mengatakan itu. Aleh tidak menyangka, bahwa Irdan memang terlihat sangat bertekad untuk kuliah.
“Tapi bang, apa gak ada cara lain selain menjual tanah sawah itu?
“Gak ada Leh, cuman itu jalan satu-satunya.”
Aleh terdiam lagi memandangi Irdan yang mulai putus asa. Aleh ingin menolong agar tanah sawah itu tidak dijual, tapi disisi lain, ia juga tidak dapat membantu apapun selain membuat Irdan mempertimbangkan keinginan itu.
“Terserah mu lah bang, aku juga gak tau harus apa, tapi kau harus ingat bang, kakek mu pernah cerita sama kita tentang betapa berharganya tanah ini, seumur hidup dia tidak akan pernah rela jika tanah ini di jual.” Ucap Aleh yang juga ikut pasrah. Setelah mengucapkan kalimat itu, Aleh pergi meninggalkan Irdan yang hanya diam menyender pada bahu dinding. Irdan termenung sejenak, ucapan Aleh tadi membuatnya teringat pada cerita kakeknya beberapa tahun lalu.
Siang itu di pondok kecil di pinggiran sawah
“Kita harus bersyukur tinggal di tanah Deli, tanah yang kita tinggali sekarang ini, adalah tanah yang sangat berharga” ucap seorang kakek kepada kedua cucunya yang masih memakai seragam SMA dan yang satunya berseragam SMP, duduk bersila mendengarkan cerita.
“Apa berharganya tanah Deli ini kek? tanya bocah yang berseragam SMP.
“Dulu, tanah Deli ini ditumbuhi tembakau Deli yang sangat bermutu di mata warga kaum barat. Kesuburan tanahnya dan tembakau Deli itu, membuat banyak orang berdatangan untuk mencari keberadaan tanah Deli dan juga untuk mengadu nasib. Kesuburan tanah Deli, berhasil menarik penduduk Jawa datang untuk menjadi kuli kontrak, karena mereka mendapat informasi berupa gaji yang menjanjikan serta hidup yang layak jika menjadi kuli kontrak di perkebunan tanah Deli. Hari demi hari, tahun demi tahun, kesuburan dan kemakmuran tanah Deli menjadi penarik bagi orang Jawa dan membuat mereka memilih untuk tinggal di tanah Deli ini”
“Bangga kali aku tinggal di tanah Deli ini kalau gitu.” Sahut bocah berseragam SMA
“Kalian sebagai generasi penerus harus menjaga kemakmuran dan kesuburan tanah ini, manfaatkan kesuburan tanah ini dengan menanam sayuran ataupun buah-buahan yang nantinya bisa dijual.” Ucap sang kakek sambil menyisir jenggotnya dengan jemari.
Irdan merasa bersalah setelah mengingat kejadian lampau itu. Ia lupa, bahwa dulu ia juga sempat berjanji pada kakeknya untuk menjaga tanah persawahan itu dengan baik sampai kapan pun. Di dalam hatinya, Irdan tidak ingin melanggar janji itu, dia akan tetap mempertahankan sawahnya dan membatalkan niatnya untuk kuliah di tahun ini. Sekarang, itu menjadi keputusan Irdan. Ia akan kembali menjumpai Pak Robin untuk membatalkan keinginannya menjual tanah sawah miliknya. Setibanya di halaman rumah, Irdan tidak melihat sosok Pak Robin lagi, bahkan mobil hitamnya yang begitu mengkilat sudah tidak terlihat sejauh mata memandang. Irdan kebingungan, mungkin karena ia terlalu lama di dalam rumah, Pak Robin menjadi kesal dan memutuskan untuk pergi tanpa berpamitan. Pada akhirnya, Irdan membiarkan hal itu dan memilih untuk duduk sebentar di kursi kayu yang berada di bawah pohon jambu didekatnya. Ditempat itu, mata Irdan memandangi sawahnya dari kejauhan dan sesekali melihat orang-orang desa yang berlalu-lalang di depannya. Sampai salah seorang yang sedang berlalu-lalang itu membelokan kemudi dan memberhentikan sepeda motornya di depan rumah Irdan.
“Kenapa kusut kali mukak mu? Bapak mau beli beras kamu Dan, ada stok gak? Ucap Seorang bapak dengan pakaian kedinasan ASN yang masih terpasang rapih ditubuhnya.
“Sudah habis Pak Jaka, dua minggu lagi baru ada.”
“Oh gitu ya, yaudah gak apa-apa. Tapi Bapak lihat kau lemas kali hari ini, udah sarapan kau?
“Sudah Pak, saya cuman lagi banyak pikiran aja”
“Kau punya masalah apa Dan, coba cerita sama Bapak?
Irdan diam sejenak memikirkan ucapan Pak Jaka. Hubungan Irdan dengan Pak Jaka sebenarnya sangatlah dekat. Pak Jaka ini adalah teman kerja ayahnya Irdan semasa hidup. Bukan hanya sebatas teman kerja, Ayahnya Irdan dengan Pak Jaka, juga sudah menjadi sahabat sejak kecil di desa itu. Tidak heran jika hubungan antara keluarga Pak Jaka dengan kelurga ayahnya Irdan, sudah seperti saudara dekat sejak mereka kecil. Bahkan saat kedua orang tua Irdan meninggal, Pak Jaka berjanji kepada kakeknya Irdan, akan menganggap Irdan seperti anaknya sendiri.
“Cerita aja sama Bapak, mungkin Bapak bisa bantu Dan.” Ucap Pak Jaka lembut sambil mengelus punggung Irdan.
“Irdan hampir menjual tanah sawah milik kakek Pak, padahal Irdan udah janji sama kakek untuk menjaga tanah sawah ini. Irdan bingung, Irdan pengen kuliah tahun ini, tapi uang Irdan gak cukup untuk membayar uang pendaftarannya. Semua tabungan Irdan udah habis untuk perobatan almarhum kakek dulu.” Ungkap Irdan yang langsung membuat air matanya tumpah.
“Kenapa kau gak bilang sama bapak kalau kau mau kuliah Dan? Bapak pasti bantu kau. Bapak sudah sering bilang sama kau, kalau kau punya masalah, cerita sama bapak, anggap bapak ini seperti bapak kandung kau Dan.
“Irdan malu pak, Irdan bukan anak kandung Pak Jaka.”
“Bapak udah anggap Irdan seperti anak bapak sendiri, dan bapak akan bantu Irdan semampunya bapak.” ucap Pak Jaka dengan nada yang tulus.
“Iya Pak Jaka, Irdan minta maaf.
Pak Jaka menghembuskan nafas berat sembari memandangi anak yang malang di depannya ini. Dia tahu, Irdan adalah anak yang baik dan pekerja keras. Semasa sekolah, Irdan juga dikenal sebagai anak yang cukup pintar dan jarang sekali bolos sekolah.
“Yasudah, hapus air mata mu, anak cowok harus kuat, gak boleh cengeng, bapak akan bayarin uang pendaftaran kuliah kau.”
Irdan membelalakkan matanya tak percaya. Tapi senyuman tulus yang terukir di wajah Pak Jaka, seakan memberikan jalan terang untuk ia lalui.
“Bapak serius?”
“Serius! Ucap Pak Jaka sambil tersenyum. “Tapi ingat, meskipun nantinya kau akan kuliah, kau harus tetap mengurus sawah itu, kau harus menabung, agar kedepannya kau bisa membayar uang kuliah mu sendiri dan juga memenuhi kebutuhan hidup mu, bapak tidak mau kau menjadi anak yang manja dan tidak mandiri Dan, kau harus bisa bertanggung jawab untuk dirimu sendiri .” Lanjutkan Pak Jaka memberikan nasihat.
Irdan mengangguk senang seperti bocah yang sedang ditawarin permen oleh ibunya. Matanya yang tadi sayu kini berbinar cerah meskipun tampak sedikit berkaca-kaca. Keinginan Irdan untuk memeluk Pak Jak pun tidak bisa ia tahan lagi. Dengan erat dan penuh rasa bersyukur, Irdan memeluk Pak Jaka seperti ia memeluk ayahnya sendiri. Cukup lama Irdan memberikan pelukannya pada Pak Jaka, sampai secara tiba-tiba ia melepasnya dan langsung berdiri.
“Saya pergi dulu Pak.”
“Mau kemana Dan, kenapa buru-buru?
“Saya mau ketemu Aleh pak, mau peluk dia juga, nanti saya kemari lagi pak.”
Setelah mengucapkan itu, Irdan berlari cepat dengan raut wajah senang menuju rumah Aleh. Pak Jaka yang melihat itu, ikut tersenyum dengan kebahagiaan yang Irdan rasakan. “Irdan akan menjadi orang yang sukses, dia anak yang baik dan tidak mudah menyerah” ucap pak Jaka di dalam hatinya.
TAMAT