Oleh : JHOSUA M MANURUNG – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Samosir – Boneka kayu Sigale-gale di Tomok, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara (Sumut) memiliki kisah yang cukup pilu di baliknya. Salah satu kisahnya, boneka tersebut dibuat untuk menghibur Raja Rahat yang kehilangan anak semata wayang. Disebutkan bahwa tatapan boneka Sigale-gale terlihat kosong. Di bahunya terdapat ulos yang merupakan tenun khas suku Batak. “Rupanya sepintas mirip manusia dewasa dengan mata memancarkan tatapan kosong tanpa makna. Pada bahu dari tubuh yang mematung itu tersampir ulos, kain tenun khas suku Batak. Rambut pirangnya tersemat sortali, semacam penutup kepala. Ketika suara tabuhan musik dari gondang, kendang besar bertabung panjang, mulai dimainkan, tiba-tiba saja tubuh kaku tadi mulai bergerak mengikuti irama musik,”
Sigale-gale sendiri berasal dari kata gale yang dalam bahasa Batak Toba artinya adalah lemah gemulai. Agar mampu berdiri tegak, Sigale-gale diletakkan pada sebuah podium kayu persegi panjang. Fungsi dari podium kayu itu adalah sebagai lorong perlintasan jalinan tali yang dapat membuat boneka kayu ini bergerak seolah-olah sedang menari. Tarian tersebut akan diiringi oleh musik.
Boneka Sigale-gale akan digerakkan oleh dalang dengan tali-temali tadi supaya bisa bergerak luwes. Bak sistem syaraf dan sendi tubuh pada manusia, tali-tali tadi menghubungkan bagian badan Sigale-gale mulai dari kepala, leher, lengan, dan telapak tangannya. Jalinan tali tadi yang sepintas tampak rumit, tersamarkan posisinya oleh pakaian adat Batak Toba yang dikenakan Sigale-gale serta podium kayu. Sigale-gale biasanya diiringi oleh tarian tor-tor yang salah satu ciri khas gerakannya adalah menelungkupkan kedua telapak tangan ke arah dada dan digerakkan naik turun ke depan berulang-ulang.
Dalam Kamus Budaya Batak Toba karya MA Marbun dan IMT Hutapea, Sigale-gale selalu dimainkan bersama musik gondang dan iringan tari tor-tor saat upacara papurpur sapata. Seperti halnya ritual tolak bala, papurpur sapata ini dimainkan ketika ada kematian dan bertujuan agar keluarga atau kerabat yang ditinggalkan selalu terhibur atau sebagai pelipur lara.
Kisah Sigale-gale
Dalam buku Sigale-gale: Dongeng Rakyat Tapanuli, Rayani Sriwidodo mengatakan boneka kayu dibuat dan dimainkan jika ada yang meninggal tidak memiliki keturunan. Awalnya kehadiran Sigale-gale sebagai sebuah cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun dan telah mengakar bersama masyarakat Batak sebagai sebuah kearifan lokal. Bagi masyarakat Danau Toba, Sigale-gale identik dengan kisah mengenang Manggale, sosok yang sangat dihormati karena memiliki kehebatan dalam memimpin perang.
Berikut ceritanya;
Di sebuah desa kecil di Pulau Samosir, hiduplah seorang raja yang sangat menyanyangi putranya, Manggale. Manggale adalah pemuda gagah dan pemberani yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Suatu hari, terjadi peperangan besar didaerah Samosir, Manggale diutus sang ayah untuk mengusir tentara dari kerajaan tetangga. Tapi sayangnya, dalam pertempuran itu Manggale tewas di medan pertempuran. Sang Raja, yaitu Raja Rahat merasa kehilangan yang luar biasa. Seluruh rakyat pun turut bersedih atas gugurnya pewaris tahta Raja Rahat.
Kesedihan sang Raja begitu besar, sehingga ia jatuh sakit. Setiap hari ia merindukan kehadiran putranya. Melihat keadaan ini, para tetua adat dan dukun desa mencari cara untuk membuat sebuah patung kayu yang menyerupai Manggale. Oleh karena itu dicarilah pemahat terbaik di kerajaan untuk membuat patung kayu yang ciri-cirinya dibuat mirip dengan Manggale. Patung itu dibuat dengan penuh ketelitian dan dihiasi dengan pakaian adat Batak yang indah. Bahkan, roh Manggale pun disisipkan ke dalam patung yang dinamai Sigale-gale. Setelah patung selesai, para dukun mengadakan ritual khusus untuk “menghidupkan” patung tersebut. Dengan bantuan roh leluhur, mereka membuat patung sigale-gale bisa menariseperti manusia. Ketika patung itu mulai bergerak, raja merasa seolah-olah putranya kembali. Ia pun meneteskan air mata bahagia dan perlahan kesehatannya kembali. Sehingga ketika Raja Rahat rindu kepada Manggale, dia akan mengajak si patung menari tor-tor dan kegiatan itu juga akan diikuti oleh seluruh rakyatnya, demi mengenang Manggale.
Sejak saat itu, patung Sigale-gale menjadi bagian penting dalam upacara adat Batak, terutama dalam prosesi kematian. Masyarakat percaya bahwa roh orang yang telah meninggal bisa masuk ke dalam patung dan menari sebagai perpisahan terakhir dengan keluarganya. Oleh karena itu, Sigale-gale sering ditampilkan dalam upacara pemakaman orang Batak yang tidak memiliki keturunan, sebagai pengganti anak yang seharusnya mengantar kepergian mereka. Legenda ini berkembang menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun. Hingga kini, pertunjukan Sigale-gale masih dapat ditemukan di daerah Samosir, khususnya dalam acara budaya dan wisata. Para penari menggunakan tali atau mekanisme sederhana untuk menggerakkan patung, menciptakan ilusi bahwa ia benar-benar hidup.
Sigale-gale bukan sekadar patung kayu, tetapi simbol cinta, kehilangan, dan penghormatan terhadap leluhur. Ia mengajarkan bahwa meskipun seseorang telah tiada, kasih sayang dan kenangan akan tetap hidup dalam hati mereka yang ditinggalkan. Kini, Sigale-gale tidak hanya menjadi bagian dari tradisi Batak, tetapi juga daya tarik budaya yang menarik wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Melalui patung ini, warisan leluhur Batak tetap hidup dan terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Tetapi ada juga menyebutkan sampai hari ini tidak diketahui dengan pasti kapan seni pertunjukan Sigale-gale itu dimulai di Pulau Samosir. Sandy Situmorang dalam Seri Pengenalan Budaya Nusantara: Misteri Patung Sigale-gale disebutkan bahwa patung itu sebetulnya pertama kali dibuat oleh Raja Gayus Rumahorbo yang bermukim di Desa Garoga dekat Tomok pada 1930. Hebatnya, boneka Sigale-gale buatan Raja Gayus saat itu bisa mengeluarkan air mata dan dapat mengusapkan ulos yang disandang di bahunya.
Meskipun demikian, apa pun ceritanya, boneka Sigale-gale telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan seni dan tradisi masyarakat di kawasan Danau Toba, khususnya di Desa Tomok, Samosir, dan selalu dipertunjukkan dalam setiap kunjungan wisatawan dan pesta budaya setempat.