Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa. Dari Danau Toba yang megah, hutan hujan tropis yang menjadi rumah bagi berbagai satwa langka, hingga sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, keindahan ini semakin pudar akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Berita mengenai deforestasi, pencemaran air, serta perubahan iklim yang berdampak langsung pada masyarakat Sumut semakin sering muncul. Namun, pertanyaannya adalah, sejauh mana kita benar-benar peduli? Apakah berita ini hanya sekadar lewat di linimasa media sosial tanpa meninggalkan kesadaran mendalam?
Salah satu isu lingkungan terbesar di Sumatera Utara adalah pencemaran Danau Toba, ikon wisata yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat. Air yang dulu jernih kini sering berwarna hijau kecoklatan akibat pertumbuhan alga yang tidak terkendali, sebuah tanda bahwa ekosistem danau mengalami eutrofikasi atau kelebihan nutrisi dari limbah organik. Penyebabnya? Limbah dari peternakan ikan dalam keramba jaring apung yang jumlahnya berlebihan, limbah industri, serta kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke danau tanpa berpikir panjang.
Berita tentang pencemaran Danau Toba bukanlah hal baru. Sudah sering ilmuwan dan aktivis lingkungan mengingatkan bahaya ini. Bahkan, beberapa kali terjadi kasus kematian massal ikan di danau akibat rendahnya kadar oksigen di air. Namun, upaya pembersihan dan penertiban masih belum maksimal. Pemerintah memang sesekali melakukan penertiban, tetapi tekanan dari pihak industri dan kurangnya kesadaran masyarakat membuat upaya tersebut tidak pernah benar-benar tuntas. Ironisnya, meskipun kondisi Danau Toba semakin memburuk, pariwisata di sana terus berkembang. Hotel-hotel baru bermunculan, promosi wisata semakin gencar dilakukan, tetapi bagaimana dengan keberlanjutan lingkungannya? Apakah kita ingin Danau Toba hanya menjadi objek wisata yang dikagumi dari kejauhan tetapi tidak lagi bisa menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar?

Selain masalah pencemaran air, deforestasi adalah ancaman lain yang sangat serius bagi lingkungan Sumatera Utara. Hutan hujan tropis di daerah ini, terutama yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, mengalami penyusutan yang mengkhawatirkan. Lahan yang dulunya hijau kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, ladang, atau bahkan tambang ilegal.
Hilangnya hutan ini bukan hanya merugikan satwa liar seperti harimau Sumatra, orangutan, dan gajah yang kehilangan habitatnya, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Hutan adalah penjaga keseimbangan ekosistem, sumber air bersih, serta pelindung alami dari bencana seperti banjir dan longsor. Sayangnya, berita tentang deforestasi sering kali hanya dianggap sebagai isu yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Padahal, dampaknya sangat nyata. Di beberapa desa sekitar kawasan hutan, masyarakat mulai merasakan perubahan iklim yang ekstrem, hujan yang tak menentu, musim kemarau yang lebih panjang, dan hasil pertanian yang menurun. Selain itu, konflik antara manusia dan satwa liar pun semakin meningkat. Ketika hutan ditebang, harimau dan gajah terpaksa masuk ke pemukiman untuk mencari makan, dan akhirnya malah dianggap sebagai ancaman yang harus diburu atau diusir.
Salah satu hal yang paling menyedihkan dalam isu lingkungan di Sumatera Utara adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga alam. Banyak orang yang menganggap bahwa menjaga lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah atau aktivis saja, bukan kewajiban bersama. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, banyak kebiasaan kecil sehari-hari yang turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Misalnya, membuang sampah sembarangan di sungai, menggunakan plastik secara berlebihan, serta tidak peduli terhadap asal-usul produk yang dikonsumsi, apakah berasal dari sumber yang merusak lingkungan atau tidak.

Media massa dan media sosial memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran ini. Sayangnya, berita tentang lingkungan sering kali tidak mendapatkan perhatian sebesar berita politik atau hiburan. Masyarakat lebih tertarik membahas skandal selebriti dibandingkan dengan berita tentang hutan yang terbakar atau ikan-ikan yang mati di Danau Toba. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka bisa dipastikan bahwa Sumatera Utara akan kehilangan banyak aset lingkungannya dalam beberapa dekade ke depan. Anak-cucu kita mungkin hanya akan mengenal keindahan alam Sumut dari foto-foto lama, tanpa pernah merasakan langsung betapa megahnya hutan Gunung Leuser atau betapa jernihnya air Danau Toba.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Beberapa komunitas dan organisasi lingkungan di Sumatera Utara sudah mulai bergerak untuk menyelamatkan lingkungan. Gerakan penghijauan, edukasi tentang pengelolaan sampah, serta kampanye melawan deforestasi semakin banyak bermunculan. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah keterlibatan lebih banyak pihak bukan hanya pemerintah atau aktivis, tetapi juga masyarakat umum, pelaku bisnis, dan generasi muda.